Penaklukan ini menghilangkan saingan Mataram terkuat di timur dan memberi peluang kepada Sultan Agung untuk membina kedaulatan atas sebahagian besar penkekal merdeka di Timur. Terdapat juga Kesultanan Banten dan Belanda yang menguasai Batavia (kini dikenali sebagai Jakarta) di Barat.[2] Surabaya dan daerah-daerah di pantai timur laut pulau Jawa yang ditaklukkan tetap berada bawah kekuasaan Mataram sehingga diserahkan kepada Syarikat Hindia Timur Belanda selepas Perang Jawa (1741–1743).[5] Hal ini bererti bahawa daerah Jawa Tengah dan Timur berada di dalam pengaruh Mataram yang didorong oleh budaya Jawa, di mana ciri-ciri masa kini seperti etika Jawa, seni, bahasa, dan hierarki sosial telah mengambil bentuk.[22]

Penaklukan ini menandai batas maksimum dari Mataram.[2] Setelah penyatuan kekuasaannya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, Sultan Agung kemudian berbalik ke arah barat untuk berurusan dengan Belanda. Angkatannya menyerang Batavia pada tahun 1628 dan 1629, tetapi kempen ini berakhir dengan kekalahan besar.[23] Setelah kegagalan ini, perluasan Mataram berhenti, dan tidak lagi menjadi ancaman untuk Banten atau Belanda.[24]

Peperangan dengan Surabaya ini mengakibatkan beberapa kerosakan, terutama di sepanjang pantai utara Jawa.[2] Pertempuran, penyakit, kelaparan, dan gangguan pertanian, menyebabkan banyak kematian – jumlah pastinya belum diketahui, tetapi dianggarkan cukup besar.[2] Surabaya yang tidak lagi menjadi pelabuhan penting, telah kehilangan dominasinya ke atas Jawa Timur.[25] Penghancuran kota-kota pesisir memberikan kesan kepada kemunduran perdagangan di Jawa dan munculnya Kesultanan Makassar di Sulawesi sebagai pusat perdagangan rempah-rempah di Nusantara.[26]